
Ponorogo-Maunanusantara.com- Satu dekade terakhir, istilah “Jumat Berkah” menjadi fenomena sosial yang begitu dekat dengan keseharian kita. Di kota maupun desa, di depan masjid atau di pinggir jalan, kita melihat para relawan membagikan nasi bungkus, sembako, hingga santunan tunai kepada mereka yang membutuhkan. Aktivitas ini, meski tampak sederhana, mengandung nilai spiritual yang tinggi: berbagi kebahagiaan pada hari yang oleh
Rasulullah disebut sebagai sayyidul ayyam_penghulu segala hari.
. Namun jika kita menelisik lebih jauh ke dalam sejarah, tradisi berbagi di hari Jum’at bukanlah sesuatu yang baru muncul di era media sosial atau gerakan filantropi modern. Jauh sebelum istilah “Jumat Berkah” dikenal luas, masyarakat pesantren telah mempraktikkan bentuk sedekah rutin setiap Jum’at sebagai bagian dari laku ibadah dan pengikat sosial antarmasyarakat.
Salah satu sumber penting yang menunjukkan hal ini adalah dokumen beseit (turunan atau keputusan pembagian tanah waris) yang berasal dari masa Kyai Ageng Kasan Besari dari Tegalsari, Ponorogo, seorang ulama besar abad ke-18 hingga awal abad ke 19 yang dikenal luas sebagai pengasuh Pesantren Gebang Tinatar
Dalam beseit tersebut dijelaskan pengelolaan tanah waris dari dua anak laki-laki Kyai Ageng Kasan Besari dengan istri beliau, Raden Ayu Moerisijah (BRA. Aj. Tjokrowinoto) yang berasal dari lingkungan keraton Surakarta. Kedua anak itu adalah:
- Raden Mas Ahmad Martopura, yang kemudian menjadi Wedana Maospati, dan
- Raden Mas Lancur Kusen, yang kelak bergelar K.R.M.A.A. Tjokronegoro, Bupati
 Ponorogo Kota Tengah ke-3.
Tanah waris ini kemudian dikuasakan kepada Raden Ayu Saribanun, yang bersuamikan Kyai Kasan Rifa’i (putra Kyai Ageng Kasan Yahya). Dalam kesepakatan keluarga, tanah itu tidak dijual atau diwariskan secara individual, tetapi dijadikan wilayah kecil bernama Kepuh Lima dan sawah Kepuh Latar, bagian dari desa Karanggebang, Ponorogo. Hasil dari tanah tersebut sebagian disedekahkan kepada masyarakat setiap hari Jum’at. Tradisi ini kemudian disebut sedekah ratib saben Jemungah, yakni sedekah yang dilakukan terus-menerus setiap hari Jum’at seperti suatu wirid sosial.
Dalam naskah tersebut tertulis:
“…saliyane kang dadi pengare wong cilik kang minongko bahu suku lan kang
me(ng)ku desa manira mundhut lestarine kanggo sedekah ratib saben jemungah
kaya adat.”
(Selain mereka yang menjadi rakyat kecil, para abdi desa hendaknya menjaga
kelestarian sedekah ratib setiap hari Jum’at sebagaimana adat yang berlaku).
Kalimat ini menjadi bukti bahwa tradisi sedekah Jum’at bukan hanya kegiatan spontan, melainkan telah menjadi sistem sosial religius yang terstruktur di lingkungan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Sedekah ratib di sini berfungsi sebagai jembatan antara dunia ekonomi, spiritual, dan sosial yang menyatukan rakyat, kiai, dan aparat desa dalam satu kesadaran keberkahan bersama.
Menariknya, beseit ini ditandatangani oleh K.T. Sasradiningrat, pejabat tinggi kerajaan Surakarta, pada 27 Rejeb Dal 1814 M, yang menandakan pengakuan formal terhadap praktik sosial-keagamaan tersebut. Kutipannya berbunyi:
“Katiti kaping 27 Rejeb Dal 1814 tahun walandi. Ingkang pratondha wewakil
dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan warongka dalem Kyai Lurah Patih
K.T. Sasradiningrat.”
Dengan demikian, sedekah Jum’at sudah merupakan laku sosial yang diakui dan dijaga,
menjadi warisan yang menyeberangi batas pesantren, istana, dan masyarakat.
Makna dan Dimensi Sedekah
Untuk memahami kedalaman tradisi Jumat Berkah, kita perlu meninjau makna sedekah itu sendiri, baik secara teologis, sosial, maupun psikologis.
1.Dimensi Religius
Dalam Islam, sedekah (dari akar kata shadaqa) berarti “kebenaran” atau “ketulusan”. Dengan bersedekah, seseorang sedang membenarkan imannya kepada Allah dan menyatakan kasih sayangnya kepada sesama makhluk. Sedekah bukan sekadar pemberian materi, tetapi perwujudan dari keimanan yang hidup. Al-Qur’an mengingatkan:
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti
sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai; pada tiap-tiap tangkai seratus biji.”
(QS. Al-Baqarah: 261)
Ayat ini menunjukkan bahwa sedekah bukan kehilangan, melainkan pertumbuhan, baik
dalam rezeki maupun dalam jiwa. Maka, ketika para leluhur pesantren menetapkan
prosentase hasil panen atau tanah untuk sedekah ratib saben Jemungah, mereka
sebenarnya sedang menanam benih berkah yang tidak habis oleh waktu.
2. Dimensi Sosial
Sedekah adalah mekanisme sosial Islam yang paling organik. Ia bukan sistem pajak formal seperti zakat, tetapi gerak hati yang lahir dari rasa empati. Dalam konteks pesantren, sedekah menjadi alat perekat sosial yang menyatukan kiai, santri, dan masyarakat sekitar.
Tradisi Jumat Berkah di lingkungan pesantren tua, seperti di Karanggebang, Tegalsari, atau desa-desa sekitar pesantren besar Jawa, praktis sosial religi ini tidak hanya memuaskan lapar masyarakat miskin, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan, menumbuhkan budaya saling peduli, dan menyeimbangkan struktur sosial antara yang berpunya dan yang kekurangan. Dalam struktur sosial Jawa-Islam tradisional, sedekah adalah bahasa solidaritas: cara lembut untuk menjaga harmoni tanpa harus menonjolkan status sosial.
Sedekah juga menjadi bentuk redistribusi kultural, yakni pengaliran nilai dari mereka yang berilmu dan berkecukupan kepada yang membutuhkan, tanpa merendahkan martabat. Sebab dalam pandangan Islam, penerima sedekah tidak sedang “diberi belas kasihan”, tetapi “diberi kesempatan” agar keberkahan mengalir melalui dirinya.
3.Dimensi Psikologis dan Spiritual
Dari sisi psikologi, sedekah memiliki efek terapeutik yang luar biasa. Orang yang memberi mengalami relief batin rasa lega, ringan, dan bahagia, karena pada hakikatnya ia sedang membebaskan diri dari keterikatan terhadap materi. Sedekah melatih seseorang melepaskan, bukan menggenggam; membuka, bukan menahan. Itulah mengapa Nabi Muhammad bersabda:
“Sedekah tidak akan mengurangi harta.”
(HR. Muslim)
Secara spiritual, sedekah juga mengasah rasa tawakkal (berserah) dan ikhlas (murni
niat). Ia menjadi cara praktis untuk menundukkan ego, melatih kesabaran, dan
menumbuhkan cinta kasih universal. Dalam konteks Jumat Berkah, sedekah menjadi
laku kolektif yang tidak hanya memberi manfaat lahir, tetapi juga membangun
keseimbangan batin dalam komunitas.
Sedekah sebagai Sistem Nilai Pesantren
Dalam pandangan pesantren klasik, sedekah bukan sekadar ibadah tambahan,
melainkan bagian dari sistem pendidikan adab. Para kiai menanamkan nilai bahwa ilmu
yang tidak disertai amal sosial ibarat lampu tanpa cahaya. Maka, sedekah dijadikan
kebiasaan yang berulang (ratib) agar menjadi karakter, bukan sekadar perbuatan.
Sistem ini sering kali diatur melalui mekanisme ekonomi sederhana namun spiritual:
hasil panen santri, sumbangan dermawan, hingga pengelolaan tanah wakaf digunakan
untuk membantu masyarakat sekitar, terutama pada hari Jum’at. Tradisi ini juga
menegaskan posisi pesantren sebagai pusat ekonomi moral, tempat di mana nilai
keadilan sosial dan spiritual dijalankan tanpa harus menunggu regulasi negara.
Dengan demikian, Jumat Berkah adalah warisan nilai yang mengandung dua lapis
makna: ritual dan sosial. Ia adalah ibadah yang lahir dari hati dan berpulang ke
masyarakat. Ia menjaga keseimbangan antara tangan yang di atas dan tangan yang di
bawah agar keduanya tetap saling menghormati.
Refleksi Kontemporer
Kini, ketika kita menyaksikan maraknya gerakan Jumat Berkah, baik di pesantren,
komunitas, kantor, atau jalanan kota, sesungguhnya kita sedang melihat kelanjutan dari
tradisi panjang itu. Bentuknya mungkin berubah, namun ruhnya tetap sama: menebar
keberkahan dan meneguhkan kemanusiaan.
Sayangnya, di tengah dunia yang serba digital, sedekah kadang bergeser makna:
menjadi konten, bukan ketulusan; menjadi tontonan, bukan tuntunan. Padahal, inti dari
sedekah ratib saben Jemungah adalah kontinuitas niat dan keberlanjutan nilai, bukan
viralitas aksi. Para kiai zaman dahulu menjaga sedekah dalam diam, mereka tidak
menyiarkan, tetapi mengamalkan; tidak berpose, tetapi berdoa.
Barangkali di sinilah kita perlu kembali merenung: bahwa Jumat Berkah bukan sekadar
momentum mingguan, tetapi sistem nilai yang menyehatkan jiwa, masyarakat, dan
budaya. Ia menghidupkan rasa syukur, menumbuhkan empati, dan memperkuat akar
spiritual bangsa.
Tradisi Jumat Berkah yang kita kenal hari ini sesungguhnya merupakan pantulan dari
kebiasaan luhur para leluhur pesantren sejak abad ke-19. Dari tanah warisan yang
dijadikan sumber sedekah hingga ratib sosial yang mengikat warga desa, semuanya
berakar dari satu kesadaran: bahwa keberkahan sejati tidak dimiliki, melainkan dibagi.
Maka benar kiranya, sebagaimana petuah pesantren lama:
“Rezeki yang diberkahi bukan yang banyak jumlahnya, tetapi yang luas
manfaatnya.”
Dan sedekah Jum’at, yang terus hidup dari Tegalsari hingga zaman ini, adalah bukti
nyata bahwa keberkahan tidak mengenal usia. Ia hanya membutuhkan tangan-tangan
yang tulus untuk meneruskannya.
 
                     
                     
                     
                    